Sariagri - Gorontalo punya kekayaan kuliner menakjubkan yang menarik untuk diulik. Dosen antropologi dari Universitas Padjadjaran, Seto Nurseto, mengatakan makanan terkait erat dengan siklus kehidupan manusia.
Oleh karena itu, dia meyakini ada makanan Gorontalo yang terkait kelahiran, pernikahan, dan kematian.
“Salah satunya, Tili’aya, yang menjadi syarat dalam acara syukuran adat,” kata Seto dikutip dari siaran resmi, Sabtu (18/12).
Sebagai contoh, pada setiap perayaan kelahiran, kematian, dan doa-doa syukur, nasi kuning dan Tili’aya selalu disajikan. Tili’aya merupakan makanan manis serupa Srikoyo dari Padang.
Seto menjelaskan, nasi kuning memang disajikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
“Nasi kuning dibentuk segitiga karena menyimbolkan gunung emas yang melambangkan gunung kemakmuran. Dulu, nasi kuning berfungsi sebagai sesaji, sebelum orang masuk ke hutan. Namun, ketika Islam masuk, sesaji perlahan ditinggalkan," kata Seto yang juga peserta MasterChef Indonesia Musim 8.
Pelaku UMKM Bakul Goronto yang berdarah Gorontalo, Zahra Khan, menyebut ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang kini mulai sulit ditemukan. Salah satunya adalah Milu Siram Pulo atau Binde Biluhuta yang menggunakan bahan dasar jagung pulut (binde pulu). Jagung jenis ini sulit didapatkan, karena banyak petani lebih suka menanam jagung kuning hibrida. Jagung pulut hanya bisa didapatkan di desa-desa tertentu.
Milu Siram Pulo sendiri merupakan makanan yang masih sangat mungkin dihidupkan, karena jagung putih masih ada, belum punah.
”Yang harus diperhatikan adalah mencari cara meningkatkan semangat petani untuk tanam jagung putih dan jagung kuning lokal Gorontalo. Selama ini ketergantungan terhadap jagung hibrida terbilang tinggi. Para petani perlu didorong untuk menanam varietas lokal,” kata Zahra, yang mendalami ilmu pangan.
Sementara itu, Seto mengamati pentingnya promosi yang terus-menerus. Ia mengatakan, cara promosi yang paling efektif adalah melalui acara televisi, yang bisa menjangkau banyak kalangan. Misalnya, program kuliner yang diselipkan di berbagai acara utama. Di samping itu, makanan khas Gorontalo yang kering dan tahan lama bisa lebih banyak dipromosikan di kota besar di luar Gorontalo.
Seperti apa profil kuliner Gorontalo? Mari telusuri jejak sejarah dan budaya yang terkait kuliner Gorontalo.
Pengaruh Arab yang kuat
Seto menjelaskan, kuliner Gorontalo memiliki sejarah panjang. Ketika bangsa Arab, Cina, dan Belanda datang, berbagai sisi kebudayaan etnis Gorontalo terpengaruh, termasuk budaya kulinernya.
“Pengaruh Islam dalam kuliner Gorontalo sangat kuat. Yang menarik, kuliner menjadi identitas pembeda antara Gorontalo dan etnis lain yang menjadi tetangganya, misalnya Minahasa. Karena kepercayaan yang berbeda, bahan pangan yang digunakan jadi berbeda. Jika etnis Minahasa mengonsumsi daging babi, etnis Gorontalo mengonsumsi daging sapi.”
Zahra menambahkan, masyarakat belum memeluk agama apapun sebelum Islam masuk ke tanah ini. Penduduknya masih memeluk kepercayaan hingga kemudian bangsa Arab datang dan menyebarkan agama Islam. Saat itu, kuliner Gorontalo juga banyak terpengaruh. Pada dasarnya, kuliner Gorontalo terbilang minim bumbu. Ketika memasak ikan bakar, misalnya, ada yang tidak memberi bumbu sama sekali, ada juga yang hanya memberi bumbu minimalis, seperti perasan jeruk nipis dan garam.
“Sementara itu, makanan Arab menggunakan banyak sekali rempah aromatik, seperti kayu manis, jinten, dan ketumbar. Sejak masuknya Islam lewat bangsa Arab, banyak masakan Gorontalo yang kemudian juga menggunakan rempah dengan aroma yang kuat. Misalnya, Ayam Bakar Iloni (bumbu rempah), Kambing Bakar Balanga, dan Kuah Tabu Moitomo (sebutan lain Kuah Bugis). Ini juga menunjukkan bahwa makanan Gorontalo juga dipengaruhi daerah tetangga yang lebih dulu kedatangan bangsa Arab, seperti Bugis.”
Kuliner Gorontalo di perayaan agama
Karena pengaruh Arab, maka sejumlah peringatan keagamaan pun dihiasi oleh makanan Gorontalo. Misalnya, 12 Rabiul Awal, yang menjadi hari lahir Rasulullah, disimbolkan dengan pangan. Orang Gorontalo mensyukuri kelahiran Rasulullah dengan melakukan sedekah bumi berdasarkan hasil bumi yang dimiliki.
Zahra bercerita, “Yang wajib ada adalah satu ekor ayam utuh, serta nasi kuning, putih, dan merah. Nasi putihnya pun bukan nasi putih biasa, melainkan Bilindi. Bilindi merupakan nasi yang dimasak dengan santan dan bumbu rempah, seperti pala dan cengkeh. Semacam kebuli tapi warnanya tidak terlalu cokelat. Nasinya dilengkapi dengan hati dan ampela ayam, serta suwiran ayam kampung.”
Sepanjang bulan Ramadan pun Tili’aya disajikan, terutama di keluarga yang masih memegang tradisi. Biasanya Tili’aya disuguhkan saat sahur atau sesudah tarawih. Karena terbuat dari telur bebek, gula merah, dan santan, maka Tili’aya dinilai mengandung protein yang tinggi dan berfungsi sebagai suplemen alami. Apalagi, proses pembuatannya sederhana dan cepat, tidak memerlukan proses panjang, sehingga zat gizinya utuh. Karena itu, tepat disantap oleh orang yang berpuasa.
Simbol perdamaian dua kerajaan
Terkait sejarah yang berhubungan dengan keberadaan kerajaan, Gorontalo masih memiliki makanan yang menjadi makanan tertua di daerah tersebut, yaitu Ilabulo. Makanan ini menjadi simbol perdamaian di antara raja-raja yang sedang bertikai.
Zahra bercerita, zaman dulu terjadi perang antara Kerajaan Limutu dan Kerajaan Holunthalangi. Ceritanya, mereka kemudian bersepakat untuk berdamai dan mengakhiri pertikaian dengan cara menyatukan cincin keduanya, kemudian cincin itu dibuang di Danau Limboto. Karena itu, tugas orang yang berdarah Gorontalo adalah menjaga agar danau tersebut tidak kering. Sebab, ketika kering, cincin jadi terlihat dan perang bisa kembali tersulut.
Ilabulo dibuat dari sagu dan kulit ayam yang dicampurkan, dibungkus daun pisang, lalu dikukus atau dibakar. Makanan sederhana tersebut sampai sekarang masih mudah ditemukan di berbagai acara maupun sebagai jajanan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman, oleh warga Gorontalo makanan ini disimbolkan sebagai syukuran setelah khitanan.
“Setelah dikhitan anak biasanya kehabisan energi karena menangis. Untuk mengembalikan energinya, ia diberi makanan yang enak, sehat, dan mudah disantap. Ilabulo bernilai gizi tinggi karena diisi dengan ayam kampung, dan biasanya disajikan dengan Kuah Asam Ikan Gabus. Selain itu, sajian ini juga membantu pemulihan ibu yang melahirkan secara alami,” kata Zahra.
Ada makanan yang nyaris langka
Rupanya, ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang mulai menghilang. Zahra bercerita, sebelum bisa mengakses beras, warga Gorontalo mengonsumsi singkong yang diparut atau sagu yang santap dengan kelapa cukur. “Ibu saya menyebutnya Alopa. Singkong atau sagu diberi bumbu bawang putih dan jahe, lalu dikukus. Makanan ini disantap bersama ikan bakar dan dabu-dabu. Tapi, makanan ini sudah tidak ada lagi.”
Ada lagi makanan yang nyaris langka, yaitu Bode’o. Semacam sambal, serundeng, atau abon, tapi berbeda. Bode’o terbuat dari kelapa cukur yang disangrai, lalu ditumbuk halus, serta diberi bumbu, seperti jinten, ketumbar, jahe, kunyit, lengkuas, dan sereh. Biasanya makanan ini dibawakan untuk anak dari desa yang merantau untuk sekolah di kota. Bode’o umumnya disantap bersama nasi atau singkong.
Zahra menyebutkan, makanan yang sudah benar-benar hilang adalah nasi jagung, yang 100 persen terbuat dari jagung putih dan jagung kuning varietas lokal. Makanan ini disebut Alimbuluto. Nasinya berwarna kuning dengan tekstur lembek. Dua jenis jagung yang sudah dipecahkan dimasak dengan santan. Nasi jagung ini dulu disantap sebagai makanan pokok, karena beras terbilang mahal.
“Generasi sekarang mungkin sudah tidak pernah dengar Alimbuluto. Makanan ini hilang karena pola makan berganti dengan makan nasi beras. Padahal, tubuh kita kan tidak mengenal nasi beras. Yang dikenal tubuh adalah zat gizi. Tapi, mata kita terlatih untuk menilai berdasarkan penampilan. Beras cokelat tumbuk tidak lagi dilihat, karena orang lebih pilih beras berwarna putih,” kata Zahra.
Video Terkait:
http://dlvr.it/SFcD4Q
http://dlvr.it/SFcD4Q